Hujan deras mengguyur tanpa ampun, tapi siapa peduli? Ribuan warga dan wisatawan memadati Pura Lingsar pada Minggu (15/12) untuk menyaksikan tradisi tahunan yang selalu membuat orang tertawa, berteriak, dan tentunya, basah kuyup: Perang Topat. Acara ini bukan sekadar melempar ketupat, tetapi simbol harmoni yang menjembatani perbedaan agama dan budaya.
“Kalau hujan, ya tambah seru! Semua jadi sama-sama basah,” ujar Ibu Nuri, salah satu peserta yang tampak bersemangat meski kuyup dari kepala hingga ujung kaki.
Warisan Budaya yang Tak Biasa
Pj. Bupati Lombok Barat, H. Ilham, menyebut Perang Topat sebagai cermin toleransi paling nyata. “Ini bukan sekadar tradisi. Ini adalah warisan budaya yang mengajarkan kita untuk hidup rukun meski berbeda keyakinan. Tradisi ini adalah kebanggaan Lombok Barat,” katanya.
Perang Topat tak hanya sekadar ajang lempar ketupat. Acara ini adalah bagian dari Pujawali, tradisi besar masyarakat Hindu dan Muslim yang hidup berdampingan di Desa Lingsar. Ketupat, yang biasanya jadi simbol makanan lezat, di sini berubah jadi senjata perdamaian.
“Melalui Perang Topat, kita merayakan kerukunan dalam bentuk yang menyenangkan dan penuh tawa,” tambah Ilham.
Hujan Bukan Halangan, Malah Tantangan
Hujan deras yang turun sepanjang acara justru menambah keseruan. Anak-anak berlarian di antara lemparan ketupat, orang dewasa tertawa terbahak-bahak saat terkena lemparan, dan suasana menjadi festival spontan di bawah langit abu-abu.
“Kalau gak kena lemparan, rasanya gak afdol. Ini simbol keberuntungan!” ujar Pak Made, warga lokal yang setia mengikuti tradisi ini setiap tahun.
Pj. Gubernur NTB, Hasanuddin, yang turut hadir, ikut merasakan atmosfer unik ini. Ia bahkan meminta agar Perang Topat dipertahankan dan terus menjadi agenda nasional. “Tradisi ini menunjukkan betapa kaya dan harmonisnya budaya NTB. Kita titip, jangan sampai hilang!” tegasnya.
Simbol Kerukunan dan Harapan
Hadir pula pasangan Bupati dan Wakil Bupati Lombok Barat terpilih, H. Lalu Ahmad Zaini dan Hj. Nurul Adha, yang secara simbolis melempar ketupat pertama kepada warga. Aksi ini menjadi tanda dimulainya perang ketupat yang dinanti-nanti.
“Ini tradisi yang luar biasa. Bukan hanya tradisi, tapi juga harapan bagi generasi mendatang untuk selalu hidup damai,” ujar Zaini dengan penuh semangat.
Viralnya Tradisi Lokal
Di era digital, Perang Topat juga menyedot perhatian netizen. Video dan foto-foto peserta yang basah kuyup, tertawa riang, dan saling melempar ketupat viral di media sosial. Tagar seperti #PerangTopat2024, #HarmoniLombok, dan #BasahBahagia menjadi trending topic lokal.
“Tradisi ini unik banget, jarang ada budaya yang menunjukkan toleransi dengan cara se-seru ini!” tulis seorang pengguna Instagram yang datang dari Bali hanya untuk menyaksikan acara tersebut.
Pesan Damai di Tengah Kekacauan Dunia
Di tengah dunia yang sering kali terpecah belah oleh perbedaan, tradisi seperti Perang Topat menjadi pengingat bahwa kerukunan bisa dirayakan dengan cara yang sederhana namun bermakna.
“Basah, ketupat, dan tawa. Itu semua yang kita butuhkan untuk mengingatkan bahwa hidup damai itu indah,” tutup Ilham sambil tersenyum.
Siapa yang berani melewatkan perang ketupat tahun depan? Kalau Anda belum pernah ikut, siap-siap saja basah kuyup dan tertawa terpingkal-pingkal di Lingsar!