Sistem swakelola Tipe 1 yang diatur dalam PP 12 Tahun 2021 kembali menuai polemik. Kali ini, Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Nusa Tenggara Barat (NTB) lantang menyuarakan penolakan mereka terhadap mekanisme ini. Ketua Umum Gapensi NTB, H. Agus Mulyadi, menyebut sistem ini sebagai ancaman besar bagi transparansi dan profesionalitas dalam pelaksanaan proyek konstruksi.
“Ini bukan sekadar kebijakan, tapi ladang subur untuk praktik kongkalikong dan penyalahgunaan wewenang,” tegas Agus dalam pernyataan yang menggelegar.
Swakelola Tipe 1: Antara Mutlak dan Rentan
Bagi Agus, masalah utama dari Swakelola Tipe 1 adalah kekuasaan mutlak yang diberikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dalam sistem ini, PPK memiliki kendali penuh, termasuk menunjuk penyedia barang dan jasa secara subjektif. Menurut Agus, pola ini adalah tiket satu arah menuju penyimpangan.
“Dengan kekuasaan absolut seperti ini, siapa pun bisa masuk menjadi penyedia, bahkan pedagang kecil tanpa pengalaman sekalipun, asalkan ada lampu hijau dari PPK. Apa yang kita lihat pada kasus OTT Kabid SMK Dikbud NTB baru-baru ini hanya puncak gunung es,” katanya, merujuk pada skandal korupsi yang mengguncang publik.
Kontraktor Jadi Penonton di Proyek Sendiri
Salah satu kelemahan mencolok dari sistem ini, menurut Agus, adalah pemisahan kewenangan antara penyediaan material dan pelaksanaan konstruksi. Dalam praktiknya, material sering kali diserahkan kepada toko bangunan atau pihak yang ditunjuk langsung oleh PPK. Akibatnya, kontraktor kehilangan kendali penuh atas manajemen proyek di lapangan.
“Kontraktor itu seharusnya jadi nahkoda proyek, bukan sekadar anak buah kapal. Kalau material datang terlambat, siapa yang harus disalahkan? Kontraktor! Padahal, penyedia material sepenuhnya di luar kendali mereka,” tegas Agus dengan nada geram.
Efek Domino: Proyek Mandek dan Mutu Menurun
Ketergantungan pada penyedia material yang ditunjuk tanpa koordinasi yang jelas menciptakan masalah lain. Keterlambatan pengiriman bahan sering kali menyebabkan proyek tersendat, kualitas pekerjaan menurun, dan jadwal penyelesaian meleset jauh dari target.
“Bayangkan situasi ini: bahan yang dikirim tidak sesuai spesifikasi, tapi kontraktor tetap harus menyelesaikan proyek tepat waktu. Apa yang terjadi? Mutu pekerjaan dikorbankan. Ini bukan hanya tidak profesional, tapi juga menghancurkan kredibilitas kontraktor lokal,” tambah Agus.
Usulan Kembali ke Sistem Lama
Sebagai solusi, Gapensi NTB mengusulkan agar regulasi proyek konstruksi dikembalikan ke Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 16 Tahun 2018, yang dianggap lebih transparan dan melibatkan pengawasan ketat dari berbagai pihak.
“Di bawah Keppres 16/2018, setiap tahap memiliki mekanisme pengawasan berlapis, sehingga peluang untuk KKN lebih kecil. Sistem ini terbukti mampu menjaga kualitas dan akuntabilitas proyek,” ujar Agus.
Swakelola: Pelajaran dari Kasus Dikbud NTB
Kasus OTT yang melibatkan Kabid SMK Dikbud NTB menjadi salah satu contoh nyata bagaimana swakelola tipe ini membuka celah besar bagi penyimpangan. Agus memperingatkan, jika kebijakan ini terus diterapkan tanpa evaluasi mendalam, risiko kerugian negara dan masyarakat akan semakin besar.
Apakah Ini Harga yang Harus Dibayar?
Di tengah kritik tajam terhadap sistem swakelola, publik NTB kini dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah efisiensi biaya lebih penting daripada transparansi dan profesionalitas?
Bagi Agus Mulyadi dan Gapensi NTB, jawabannya