Drama pelayanan kesehatan di RSUD Praya kembali pecah. Kali ini, bukan lagi sekadar keluhan biasa, tapi nyawa pasien yang jadi taruhannya. Komisi IV DPRD Lombok Tengah datang bak detektif kesehatan, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke RSUD Praya setelah kasus memilukan menimpa seorang pasien kritis dari Puskesmas Mujur yang tak kunjung dirujuk dan akhirnya meregang nyawa di perjalanan.
Dengan wajah berkerut, rombongan wakil rakyat tiba pukul 10.00 WITA. Begitu menginjakkan kaki di ruang IGD, suasana tegang sudah menyambut mereka. Seakan memutar ulang adegan drama suram pelayanan kesehatan, kondisi RSUD Praya terlihat kontras dengan klaim “tidak pernah menolak pasien”.
“Kami Sudah Bosan Dengar Alasan ‘Full Bed’”
Wakil Ketua Komisi IV DPRD, Wirman Hamzani, tak segan mengungkapkan kekecewaannya. “Setiap kali kami mendapat laporan dari masyarakat, jawabannya selalu sama: ‘bed penuh.’ Kalau ini terus-terusan, nyawa pasien bisa hilang percuma. Dan sekarang? Ini sudah kejadian nyata!” ujar politisi NasDem itu dengan nada geram.
Kejadian yang menimpa pasien asal Kecamatan Praya Timur benar-benar mencoreng wajah layanan kesehatan di Lombok Tengah. Pihak Puskesmas Mujur sudah berjuang menghubungi RSUD Praya sejak pukul 11.00 WITA, namun jawaban yang mereka terima bikin dahi berkerut: “Tunggu dua jam, bed penuh.” Dua jam kritis berlalu, nyawa tak lagi bisa menunggu. Pasien akhirnya dibawa pukul 14.15 WITA dan menghembuskan napas terakhir di tengah perjalanan.
Nyawa Pasien vs SOP Rumah Sakit
Direktur RSUD Praya, dr Mamang Bagiansah, mencoba menjelaskan situasi. Menurutnya, rumah sakit tak pernah menolak pasien. Namun ia berdalih SOP rujukan harus ditaati. “Pada saat itu, kondisi bed memang penuh. Dari 25 bed yang tersedia, sudah terisi 30 pasien. Kami sudah berkomunikasi dengan pihak Puskesmas untuk menunggu,” ujarnya.
Mamang tak menampik fakta bahwa kasus serupa sering terjadi. “Kami sudah memberikan opsi lain, seperti meminjam bed atau merujuk ke rumah sakit lain. Tapi masalahnya, ketersediaan bed di Lombok Tengah memang masih minim,” tambahnya.
Namun, jawaban ini bukannya meredakan situasi. Wirman Hamzani kembali menyentil, “Bed penuh bukan alasan untuk membiarkan pasien kritis kehilangan nyawa. Ini darurat, bukan antrean sembako!”
Solusi atau Retorika?
Persoalan ini bukan pertama kali terjadi. Fakta mirisnya, RSUD Praya sering kali berada dalam posisi “full bed” sementara penduduk Lombok Tengah terus tumbuh hingga lebih dari satu juta jiwa. Rasio ketersediaan bed yang disebut dr Mamang — 1 bed untuk 1.000 penduduk — benar adanya, tapi solusi konkret untuk masalah ini masih sebatas wacana.
“Kalau tahu kapasitas tidak cukup, kenapa tidak dicarikan solusi cepat? Bikin ruang tambahan darurat atau berkolaborasi dengan rumah sakit swasta,” ujar salah seorang warga yang ikut menyaksikan sidak.
Netizen Naik Pitam, Media Sosial Meledak
Tak butuh waktu lama, kisah pilu ini meroket di media sosial. Tagar #BedPenuhNyawaMelayang menjadi trending. Warganet ramai-ramai mengecam layanan kesehatan yang dianggap abai dan lamban. Ada yang menyebut, “Rumah sakit harusnya jadi tempat penyelamat nyawa, bukan pembunuh lambat!”
Netizen lainnya berkomentar lebih pedas: “Kalau penuh, ya usahakan! Ini bukan hotel, ini soal nyawa manusia!”
Akhir Cerita? Belum, Ini Baru Permulaan
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Pemerintah Lombok Tengah dan manajemen RSUD Praya. Masyarakat berharap ada perbaikan serius, bukan hanya retorika manis atau sidak yang sekadar jadi ajang pencitraan.
“Tidak boleh ada lagi alasan ‘bed penuh’ untuk pasien kritis. Kalau sistem masih carut-marut, harus diperbaiki segera. Jangan tunggu sidak berikutnya berisi cerita serupa,” tutup Wirman Hamzani, tegas.
Kini, semua mata tertuju pada RSUD Praya. Apakah ini jadi momen perubahan atau hanya drama sementara? Yang pasti, satu nyawa telah hilang — dan penyesalan selalu datang terlambat.