Persoalan sampah di Kota Mataram seolah menjadi momok tak berujung. Musim hujan yang seharusnya menjadi berkah malah membawa “bencana” lain: volume sampah yang terus melonjak dan tumpukan limbah yang menggenangi saluran air serta sungai. Kondisi ini semakin memperlihatkan betapa rendahnya kesadaran sebagian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan.
“Peningkatannya mencapai 3 ton per hari,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mataram, H. Nizar Denny Cahyadi. Normalnya, volume sampah yang diangkut mencapai 180-200 ton per hari, tetapi kini angkanya melebihi kapasitas. “Syukurnya, kami masih bisa menangani,” imbuhnya, meskipun harus bekerja lebih keras.
Sampah Basah, Sungai Menangis
Pantauan di lapangan menunjukkan peningkatan ini berasal dari sampah basah yang diambil langsung dari saluran air dan sungai. Musim hujan membongkar “dosa” warga yang membuang sampah sembarangan. Genangan air yang menutupi jalan menjadi pemandangan biasa, penyebabnya: saluran tersumbat oleh limbah rumah tangga.
“Kesadaran masyarakat masih minim. Sampah dibuang begitu saja ke sungai. Kita jadi seperti mengejar-ngejar perilaku yang tak kunjung berubah,” tegas Nizar. DLH, katanya, sudah berupaya sekuat tenaga, termasuk berkoordinasi dengan Dinas PUPR untuk membersihkan sampah di titik-titik kritis. Namun, tanpa perubahan dari masyarakat, semua kerja keras itu serasa menegakkan benang basah.
Shift Ganda, Jalan Licin, Tapi Tetap Jalan
Petugas kebersihan di Kota Mataram saat ini harus bekerja dengan pola kerja shift dua kali sehari. Jam kerja ditambah untuk memastikan sampah tidak menumpuk di TPA Kebon Kongok, meski jalan menuju lokasi itu menjadi licin dan berbahaya karena hujan.
“Petugas kami harus lebih hati-hati. Jalan tanah ke TPA menjadi licin, sehingga waktu pengangkutan lebih lama,” jelas Nizar. Meski demikian, DLH memastikan operasional tetap berjalan lancar tanpa hambatan berarti.
Perda Sampah: Ada, Tapi Tak Digubris
Sebenarnya, Kota Mataram sudah memiliki Perda Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, ironisnya, perda tersebut belum mampu memberikan efek jera. Anggota DPRD Kota Mataram mengkritik lemahnya implementasi aturan tersebut.
“Perda itu hanya sekadar dokumen di atas kertas. Tak ada tindak lanjut yang nyata dari pemerintah kota,” kata seorang anggota DPRD yang enggan disebutkan namanya. Menurutnya, butuh ketegasan lebih dari pemerintah agar perda ini bisa berjalan efektif.
Sampai Kapan Kita Terjebak dalam Lingkaran Ini?
Masalah sampah di Kota Mataram bukan sekadar urusan DLH atau pemerintah saja. Ini adalah cerminan dari rendahnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap lingkungan. “Menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan memang berat,” aku Nizar.
Tapi, sampai kapan kita akan menyalahkan satu sama lain tanpa tindakan nyata? Sampah yang menumpuk tidak hanya mengotori lingkungan, tetapi juga mencerminkan pola pikir kita sebagai masyarakat. Sebuah kota dengan potensi wisata besar seperti Mataram tidak seharusnya menghadapi masalah ini di abad ke-21.
Catatan Akhir: Kesadaran adalah kunci, tetapi itu tidak datang dengan sendirinya. Perda perlu ditegakkan, sanksi harus diterapkan, dan yang paling penting, kita harus berhenti menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa. Jika tidak, musim hujan akan terus membawa pesan yang sama: air meluap, dan kita tetap tenggelam dalam masalah yang kita buat sendiri.