Bayangkan dapur tanpa plastik, penuh alat rumah tangga dari kayu, bambu, atau tanah liat. Terdengar seperti dongeng? Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB) membuktikan kalau itu bukan mimpi. Dalam pameran temporer bertajuk “Eksistensi dan Nilai Budaya Alat Rumah Tangga Masyarakat NTB”, pengunjung diajak menyelami masa lalu yang penuh kearifan lokal dan nilai-nilai ramah lingkungan. Pameran ini berlangsung dari 13 Desember 2024 hingga 13 Februari 2025, dan menjadi oasis di tengah badai dominasi plastik.
Dibuka langsung oleh Penjabat (Pj) Gubernur NTB, Hassanudin, acara ini membawa pesan kuat: plastik adalah musuh bersama, dan budaya lokal adalah senjata ampuh melawannya. “Kearifan lokal bukan sekadar masa lalu, tapi bekal penting untuk melawan tantangan masa depan, termasuk dominasi plastik yang merusak lingkungan,” tegas Hassanudin dengan penuh semangat. Menurutnya, alat rumah tangga tradisional dari bahan alami seperti bambu dan kayu bukan sekadar barang antik, tapi juga jawaban atas krisis lingkungan saat ini.
110 Koleksi, 110 Kisah Inspirasi
Pameran ini menghadirkan 110 koleksi peralatan rumah tangga tradisional dari tiga suku utama di NTB: Sasak, Samawa, dan Mbojo. Setiap koleksi bercerita tentang bagaimana nenek moyang hidup selaras dengan alam. Ada sesiru (alat penyaring santan) dari bambu, tenunu (wadah tradisional dari tanah liat), hingga tumbuk lado (lesung dan alu dari kayu). Semua benda ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang kebudayaan NTB yang kaya dan mendalam.
Ahmad Nuralam, Kepala Museum Negeri NTB, menekankan bahwa alat-alat ini lebih dari sekadar barang mati. “Ini adalah cerminan identitas masyarakat dan nilai budaya. Pameran ini mengajak kita untuk kembali ke akar budaya, sekaligus mengurangi ketergantungan pada plastik,” jelasnya.
Edukasi Anti Plastik
Pameran ini tak hanya soal nostalgia budaya. Ada misi besar di baliknya: edukasi tentang bahaya plastik sekali pakai. Sebuah laporan dari Environmental Science & Technology (April 2024) menyebut Indonesia sebagai negara dengan konsumsi mikroplastik tertinggi di dunia. “Rata-rata setiap orang di Indonesia mengonsumsi 15 gram mikroplastik per bulan. Ini alarm serius!” tambah Ahmad.
Dalam setiap sudut pameran, pengunjung disuguhi informasi interaktif tentang dampak plastik terhadap kesehatan dan lingkungan. Anak-anak hingga dewasa diajak untuk berpikir ulang tentang pilihan alat rumah tangga mereka. Bahkan, ada workshop membuat peralatan dapur dari bambu untuk menambah pengalaman edukatif.
Peningkatan Pengunjung dan Pendapatan Fantastis
Dr. Aidy Furqon, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, membanggakan pencapaian Museum Negeri NTB yang kini menjadi primadona wisata budaya. “Pendapatan dari sektor ini melonjak 152 persen dari target PAD tahun lalu. Ini bukti bahwa masyarakat semakin mencintai budaya lokal,” ujarnya. Bahkan, Museum Negeri NTB telah dipercaya mewakili Indonesia dalam pameran internasional di Jeddah, Arab Saudi.
Plastik vs Budaya: Siapa yang Menang?
Hassanudin, dalam pidatonya, menyerukan agar alat rumah tangga tradisional dijadikan alternatif di era modern. “Mengurangi plastik bukan soal pilihan, tapi keharusan. Dengan melirik kembali ke kearifan lokal, kita bisa menyelamatkan lingkungan sekaligus melestarikan budaya,” tandasnya. Seruan ini menjadi refleksi mendalam bagi pengunjung, mengingat ancaman limbah mikroplastik yang terus mengintai ekosistem NTB.
Tiket ke Surga Hijau
Dengan tiket masuk yang terjangkau, pameran ini tak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan menggugah. Setiap pengunjung meninggalkan museum bukan hanya dengan pengetahuan baru, tetapi juga dengan semangat untuk hidup lebih hijau. Seperti yang dikatakan seorang pengunjung, “Ini bukan sekadar pameran, tapi perjalanan spiritual ke masa lalu yang penuh solusi untuk masa depan.”
Jadi, jika Anda merasa plastik telah mencuri jiwa rumah Anda, datanglah ke Museum Negeri NTB. Temukan inspirasi dari nenek moyang kita yang hidup tanpa plastik. Ingat, budaya menyelamatkan, plastik merusak!