Gelombang penolakan terus menggema dari warga Lingkungan Pondok Perasi, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan. Mereka dengan tegas menyatakan keberatan atas rencana pembangunan pasar ikan higienis di lokasi dekat hunian sementara (huntara) mereka. Bukan hanya soal polusi atau keramaian yang akan muncul, tapi ancaman nyata terhadap keberlangsungan tempat tinggal mereka yang jadi pangkal keresahan.
“Jangankan pasar ikan higienis, makan nasi aja kita masih susah! Masa kita digusur tanpa tahu mau pindah ke mana?” ujar salah seorang warga, dengan nada penuh emosi.
Ketua Komisi III DPRD Kota Mataram, Abd Rahman, pun langsung turun tangan. Ia bersama timnya berdialog dengan 11 kepala keluarga (KK) yang terdampak. Rahman mengaku prihatin melihat situasi yang terjadi. Menurutnya, meskipun pasar ikan higienis adalah proyek yang penting, pelaksanaannya tak boleh mengorbankan warga sekitar.
“Pemerintah Harus Cerdas!”
“Pembangunan ini memang baik, tapi harus ada solusi manusiawi bagi warga,” tegas Rahman saat berbicara kepada wartawan pada Jumat (13/12). Ia meminta agar pemerintah mempertimbangkan lokasi lain untuk pembangunan sementara waktu. “Atau setidaknya, siapkan blok huntara baru sebelum memulai proyek ini,” tambahnya.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Mataram, Ahmad Azhari Gufron, bahkan memberikan gambaran bahwa proyek ini sudah di ambang pelaksanaan. “Jalan menuju lokasi sudah diperbaiki. Tinggal tunggu pembangunan fisiknya saja,” ucap Gufron. Namun, ia tak menampik bahwa nasib 11 KK ini harus menjadi perhatian utama.
“Relokasi Jangan Asal-asalan!”
Gufron mengusulkan agar dua blok huntara di belakang rusunawa yang kini kosong bisa digunakan sementara. Tapi, ia juga menekankan agar lokasi tersebut layak huni. “Jangan hanya asal dipindahkan! Tempatnya harus layak, apalagi ini buat keluarga-keluarga yang butuh kenyamanan,” katanya.
Drama Sosial yang Membuka Luka Lama
Penolakan ini seperti deja vu dari berbagai konflik pembangunan lainnya di Kota Mataram. Sebagian warga merasa pembangunan kerap dilakukan dengan mengorbankan rakyat kecil. Ironisnya, mereka yang diminta “mengalah” ini justru sering kali tak diberi solusi yang layak. “Kalau kami digusur, di mana kami tidur? Di jalan?” tanya seorang ibu rumah tangga sambil menggendong anaknya yang masih balita.
Rapat Dengar Pendapat atau Sekadar Formalitas?
Dalam waktu dekat, warga diajak untuk berdiskusi dengan DPRD Kota Mataram. Namun, skeptisisme masih membayangi mereka. “Hearing itu ujung-ujungnya ya formalitas! Tetap aja rakyat kecil yang kalah!” cetus seorang warga.
Ayo, Pemerintah! Waktunya Bergerak Cepat
Jika pemerintah tak segera menemukan solusi yang konkret, persoalan ini berpotensi menjadi polemik besar yang tidak hanya merugikan warga, tetapi juga menghambat proyek pasar ikan higienis itu sendiri. Solusi seperti huntara yang layak dan penjadwalan ulang pembangunan pasar perlu segera dirumuskan.
Namun, apakah pemerintah siap mendengar jeritan warga? Atau proyek ini akan menjadi satu lagi monumen kebijakan yang melukai hati rakyat kecil? Waktu yang akan menjawab!