Rencana pembangunan kantor Wali Kota Mataram yang baru menjadi sorotan tajam. Sejak wacana ini digulirkan pada 2022, anggaran yang awalnya dipatok Rp 176 miliar, kini meroket menjadi Rp 250 miliar. Bangunan megah berlantai lima ini direncanakan berdiri di atas lahan seluas 80 are. Tapi, apa kabar dengan nasib program rakyat kecil
Anggota Komisi III DPRD Kota Mataram, Ismul Hidayat, tak segan melontarkan kritik pedas. Dalam dengar pendapat bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), ia mempertanyakan dampak pembangunan kantor ini terhadap program-program lain. “Kalau anggarannya dari APBD, apakah tidak akan mengganggu program kesejahteraan masyarakat? Anggaran ini besar sekali,” tegasnya, Sabtu (14/12).
Menurut Ismul, kondisi ekonomi masyarakat yang masih terseok-seok akibat pandemi dan naik-turunnya harga kebutuhan pokok seharusnya menjadi prioritas pemerintah. “Kita harapkan ada skema lain, misalnya melobi anggaran dari pusat. Jangan sampai program pemberdayaan seperti bantuan modal usaha justru tersendat hanya karena kita ingin punya kantor baru yang mewah,” tambahnya.
Ambisi atau Kebutuhan?
Hal serupa diutarakan oleh Ahmad Azhari Gufron, kolega Ismul di Komisi III DPRD Kota Mataram. Ia menilai Pemkot Mataram terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan pembangunan ini. “Pembangunan ini seharusnya melalui kajian mendalam, terutama soal sumber anggarannya. Kalau sepenuhnya dari APBD, bebannya terlalu berat,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat kecil. “Jangan sampai ambisi membangun gedung megah ini mengorbankan program-program lain yang menyentuh langsung masyarakat. Banyak hal yang lebih mendesak seperti kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi,” tegas Azhari.
Skema Multiyears: Solusi atau Perangkap Baru?
Sekretaris Daerah Kota Mataram, Lalu Alwan Basri, memastikan pembangunan akan menggunakan skema multiyears, dengan proses tender sekaligus dan pembayaran bertahap selama tiga tahun anggaran: 2025, 2026, dan 2027. “Ini sudah mendapat persetujuan DPRD dalam berita acara resmi,” ungkapnya.
Namun, skema ini juga menuai pertanyaan. Apakah sistem pembayaran bertahap akan benar-benar menjamin kelancaran program lain? Ataukah malah menjadi beban baru bagi APBD? Belum lagi jika ada potensi pembengkakan biaya lagi di tengah jalan.
Gedung Mewah, Aspirasi Warga Terpinggirkan
Di luar gedung DPRD, suara-suara rakyat mulai menggema. Warga seperti merasa semakin jauh dari prioritas pemerintah. “Buat apa bangun kantor mahal kalau kami masih kesulitan bayar sekolah anak?” keluh Suparman, pedagang kecil di Pasar Kebon Roek. Hal ini diamini oleh Siti Nurjanah, ibu rumah tangga yang berharap lebih banyak bantuan untuk modal usaha. “Rp 250 miliar itu bisa buat apa saja untuk rakyat. Kenapa tidak diprioritaskan ke sana?” tanyanya.
Dua Dunia yang Berbeda
Saat pemkot sibuk dengan rencana megahnya, masyarakat kecil masih bergelut dengan kenyataan pahit. Jalan rusak di lingkungan, layanan kesehatan yang minim, hingga program pemberdayaan yang belum merata menjadi potret nyata kehidupan di Kota Mataram.
Anggaran Rp 250 miliar untuk kantor wali kota bisa menjadi simbol kebanggaan atau justru pemantik kemarahan rakyat. “Gedung boleh megah, tapi jangan sampai rakyat merasa ditinggalkan,” ujar salah satu aktivis sosial, yang meminta namanya tak disebutkan.
Bola Panas di Tangan DPRD
Kini, bola panas pembangunan kantor wali kota ada di tangan DPRD. Akankah mereka menjadi penjaga kepentingan rakyat kecil atau hanya sekadar menyetujui rencana megah ini tanpa pertimbangan lebih dalam? Warga Mataram menunggu, dengan harapan yang kian hari kian menipis.
Sementara itu, masyarakat terus bertanya, “Apa manfaat langsung dari gedung Rp 250 miliar ini untuk kami?” Jika pemerintah tak segera menjawab, bisa jadi pertanyaan itu akan berubah menjadi gelombang protes besar. Viral bukan lagi karena kebanggaan, tapi karena kemarahan.