Drama pembelian lahan untuk Sirkuit MXGP Samota, Sumbawa, kembali menyeruak ke permukaan. Setelah sempat terhenti lantaran Pilkada serentak 2024, penyelidikan dugaan korupsi pembelian lahan senilai Rp 53 miliar dari mantan Bupati Lombok Timur, Ali BD, kini berlanjut. Kasus ini seperti api dalam sekam yang kini mulai membara lagi.
“Kami sempat berhenti melakukan pemeriksaan karena beberapa saksi yang terlibat sedang mengikuti Pilkada. Sekarang Pilkada selesai, kami akan melanjutkan penyelidikan,” tegas Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, Enen Saribanon, pada Minggu (15/12).
Saksi Berkelas Pilkada dan Mantan Bupati
Meskipun Kejati NTB belum menyebut secara spesifik saksi yang dimintai keterangan, nama-nama besar sudah mulai bermunculan. Dari mantan Sekda hingga dua anak Ali BD, semua telah dimintai klarifikasi. Bahkan Ali BD sendiri, yang dua periode memimpin Lombok Timur, juga telah diperiksa penyidik.
“Lahan yang dibeli itu seluas 70 hektare dengan anggaran daerah senilai Rp 53 miliar. Namun ada indikasi gratifikasi dalam proses pengadaan ini,” ungkap Kasi Penkum Kejati NTB, Efrien Saputera.
Ali BD, dikenal sebagai politisi nyentrik, menyambangi Kejati NTB pada Selasa (12/11/2024) untuk memberikan klarifikasi. Namun, saat ditanya media, ia hanya menjawab singkat, seolah-olah kasus ini bukan masalah besar baginya.
Gratifikasi di Balik Gemuruh Sirkuit MXGP
Lahan yang kini menjadi arena Sirkuit MXGP seharusnya menjadi kebanggaan Sumbawa. Namun, alih-alih menyisakan decak kagum, proyek ini justru menyisakan tanda tanya besar. Mengapa lahan yang konon “strategis” ini harus dibeli dari mantan bupati? Apakah ada harga yang sebenarnya lebih rendah? Dugaan gratifikasi membuat aroma busuk semakin menyengat.
Tak hanya Ali BD, dua anaknya, Ahmad Zulfikar dan Asrul Sani, juga ikut terseret dalam penyelidikan. Seakan tak mau ketinggalan, mantan Sekda Sumbawa Hasan Basri dan Abdul Aziz, pemilik lahan sebelumnya, juga telah diperiksa.
Lahan Strategis atau Lahan Bermasalah?
Lahan 70 hektare ini memang besar dan strategis, tetapi harganya yang mencapai Rp 53 miliar menjadi sorotan tajam. Menggunakan uang rakyat untuk membeli lahan ini, apakah Pemkab Sumbawa sudah benar-benar transparan?
Tidak hanya itu, dua pejabat Pemkab Sumbawa, Muhammad Jalaluddin dan Agusfian, juga telah dimintai keterangan. Jalaluddin, mantan PPK Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, dan Agusfian, Kabid Bina Marga, menjadi pihak yang ikut bertanggung jawab dalam proses pembelian ini.
Jejak Gratifikasi yang Makin Panas
Kejati NTB terus menggali lebih dalam. Meski kasus ini masih dalam tahap penyelidikan, intensitasnya meningkat. “Kami masih mengumpulkan bahan keterangan dan data. Prosesnya belum selesai,” ujar Efrien Saputera.
Dengan semua nama besar yang terseret, apakah dugaan gratifikasi ini akan terbukti? Jika benar, ini akan menjadi kasus besar yang mengguncang NTB, khususnya Sumbawa. Sirkuit MXGP Samota yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan, kini justru menjadi ladang skandal.
Memburu Keadilan atau Simbol Politik?
Sejumlah pihak menilai kasus ini sarat muatan politik. Mengingat nama-nama yang terlibat cukup besar, apakah kasus ini benar-benar demi keadilan, atau justru menjadi senjata politik usai Pilkada? Hanya waktu yang akan menjawab.
Namun satu hal yang pasti, masyarakat menuntut transparansi. Kejati NTB harus membuktikan bahwa penegakan hukum tidak pandang bulu. Jangan sampai kasus ini menjadi drama panjang tanpa ujung.
Lahan MXGP: Monumen Olahraga atau Monumen Korupsi?
Sirkuit MXGP Samota, yang menjadi saksi gemuruh balapan motor dunia, kini harus menghadapi gemuruh hukum. Masyarakat NTB berharap kasus ini bisa segera terungkap, sehingga mereka bisa kembali bangga pada tanah mereka, bukan malu karena ulah segelintir oknum.
Apakah ini akan berakhir menjadi monumen olahraga, atau malah monumen korupsi? Kejati NTB kini memegang kunci jawaban itu.