Sebuah drama internasional kembali menghiasi Lombok Timur. Sebanyak 45 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal daerah ini terpaksa dipulangkan dari Malaysia, bukan karena rindu kampung halaman, melainkan akibat status mereka yang berubah menjadi ilegal di mata hukum negeri jiran. Pulang bukan sebagai pahlawan devisa, tapi dengan cerita getir yang akan sulit dilupakan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lombok Timur, Muhammad Hairi, mengungkapkan bahwa para PMI tersebut sebenarnya berangkat secara resmi. Namun, godaan gaji besar dan pekerjaan ringan membuat mereka melanggar aturan, meninggalkan pekerjaan yang telah disediakan oleh perusahaan penyalur. Hasilnya? Mereka menjadi sasaran razia aparat Malaysia dan harus mendekam di tahanan sebelum akhirnya dideportasi. “Mereka ini awalnya legal, tapi pindah kerja tanpa izin. Jadilah mereka ilegal di sana,” ungkap Hairi.
Pemulangan dilakukan bertahap. Hingga kini, 35 orang sudah tiba di kampung halaman, sementara sisanya masih dalam perjalanan. Ironisnya, menurut Hairi, para PMI yang berangkat lewat jalur ilegal malah lebih piawai menghindari razia dibandingkan mereka yang resmi. “Lucu tapi tragis. Yang ilegal lebih hati-hati, yang resmi malah lengah,” ujar Hairi sambil tersenyum masam.
Tak berhenti di situ, kisah getir ini menjadi cermin bagaimana iming-iming “surga pekerjaan” di Malaysia sering kali menjadi jebakan manis bagi PMI. Dalam banyak kasus, mereka terpedaya oleh cerita teman-teman yang lebih dulu bekerja di sana. “Katanya, ada yang dapat gaji lebih besar. Akhirnya mereka nekat pindah kerja tanpa pikir panjang,” tambah Hairi.
Bukan hanya deportasi, para PMI ini juga harus menanggung hukuman di Malaysia. Hukuman bervariasi, mulai dari dua minggu hingga enam bulan penjara. Sebagian besar dari mereka mengaku trauma dan kapok. Namun, apakah kisah ini cukup menjadi pelajaran bagi masyarakat Lombok Timur? Pertanyaan besar yang masih menggantung.
Kabid P2K2 Disnakertrans Lotim, Bambang Dwi Minardi, menjelaskan bahwa proses pemulangan PMI ini dilakukan dengan koordinasi ketat bersama Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). “Kami pastikan mereka tiba di rumah dengan selamat. Tapi, ya, semua ini jadi peringatan keras bagi calon PMI lainnya,” tegas Bambang.
Kisah ini juga membuka luka lama tentang lemahnya kesadaran masyarakat untuk mengikuti prosedur resmi. Sosialisasi oleh pemerintah sering kali dianggap angin lalu. “Kami sudah sosialisasi, tapi masyarakat harus mau mendengar. Kalau mereka tetap bandel, ini yang terjadi,” keluh Hairi.
Di sisi lain, cerita ini menyisakan tanya besar: Mengapa godaan untuk meninggalkan pekerjaan resmi begitu kuat? Apakah ini soal kebutuhan ekonomi, atau ada faktor lain seperti tekanan sosial dan ketidaktahuan? Yang jelas, kasus seperti ini terus berulang, seperti siklus yang sulit diputus.
Bagi masyarakat Lombok Timur, khususnya para calon pekerja migran, kisah ini adalah peringatan nyata. Bermimpi besar boleh, tapi jangan sampai mimpi itu menjadi mimpi buruk yang berujung deportasi. Seperti kata pepatah, “Rumput tetangga memang lebih hijau, tapi jangan sampai terinjak duri di bawahnya.”
Hairi menegaskan komitmen Disnakertrans untuk meningkatkan sosialisasi dan memberikan bimbingan kepada calon PMI. Namun, ia juga berharap masyarakat lebih aktif memahami dan mematuhi aturan. “Kami bisa bantu mereka selamat sampai tujuan, tapi kalau di sana mereka melanggar, itu sudah di luar kendali kami,” pungkasnya.
Deportasi ini adalah tamparan keras bagi Lombok Timur. Di tengah upaya pemerintah untuk menekan angka PMI ilegal, kasus ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sementara itu, bagi para PMI yang telah pulang, hidup harus tetap berjalan. Mereka pulang membawa cerita pahit, tapi juga harapan untuk memulai kembali di tanah sendiri. Selamat datang di kampung halaman, meski dengan sejuta cerita duka.