Monumen Mataram Metro, yang awalnya digadang-gadang sebagai ikon kebanggaan Kota Mataram, kini malah menjadi ikon pemborosan anggaran. Bayangkan, sejak dimulai tahun 2017 hingga kini, proyek ini telah menyedot lebih dari Rp 11 miliar dari kantong rakyat melalui APBD. Namun, hasilnya? Masih jauh dari kata selesai. Warga pun mulai bertanya-tanya: “Monumen ini sebenarnya mau jadi apa sih?”
Dari pembangunan awal dengan anggaran Rp 1,86 miliar, hingga kini menghabiskan lebih dari Rp 1 miliar per tahun, monumen ini hanya memberikan satu hal yang konsisten: masalah. Bangunan miring yang katanya monumental ini belum juga selesai dipoles. Lebih parahnya lagi, proyek ini sering berganti-ganti konsep dan perencanaan tiap tahun, seolah-olah menjadi lahan basah yang tak kunjung kering.
“Empat tahun berturut-turut, anggaran di atas satu miliar lebih tiap tahun, tapi hasilnya? Nol besar!” sesal Abdul Rachman, seorang politisi Gerindra yang terlihat frustrasi saat melakukan inspeksi mendadak pada Senin (16/12). Menurutnya, proyek ini seperti lubang hitam yang terus menelan uang rakyat tanpa ada hasil yang jelas.
Banjir Uang, Tapi Tetap Miskin Hasil
Rachman membeberkan, pada tahun 2017, Rp 2 miliar dialokasikan, tapi rekanan hanya menyelesaikan struktur dasar. Tahun berikutnya, Rp 1,5 miliar lagi dikucurkan untuk bagian atas. Lalu, tahun 2023 kembali ada anggaran Rp 500 juta. Tahun ini, Rp 950 juta lagi dihabiskan untuk kolam dan air mancur. Hasilnya? Kolam sudah selesai, tapi tetap membuat bingung warga.
“Bukannya menjadi ikon, monumen ini malah bikin macet di pintu masuk selatan Kota Mataram,” ujar seorang warga yang kesal karena kemacetan setiap sore hari. Ia juga mengkritik bahwa desain monumen ini sama sekali tidak mencerminkan kemajuan kota.
Pencurian dan Biaya Tambahan
Tak hanya itu, monumen ini juga menjadi korban pencurian lampu. Seolah masalah teknis dan perencanaan belum cukup, keamanan pun menjadi persoalan. “Lampu-lampu hilang, kolam jadi tempat genangan air tanpa fungsi yang jelas. Ujung-ujungnya, Pemkot lagi yang harus keluarkan uang untuk perbaikan,” tambah Rachman.
Menurut catatan, tahun ini monumen tersebut masih dalam masa pemeliharaan oleh CV Mandiri Usaha Sukses. Namun, pertanyaannya, sampai kapan monumen ini akan terus menyedot anggaran tanpa memberikan manfaat yang nyata?
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kepala Dinas PUPR Kota Mataram, Lale Widiahning, mengaku bahwa pihaknya hanya bertugas membangun. Pengawasan, katanya, merupakan tanggung jawab bersama, termasuk dewan. Namun, banyak yang mempertanyakan perencanaan yang serampangan ini. “Tiga segmen kolam, sumur bor, dan pompa air—semuanya butuh biaya besar, tapi tidak memberikan hasil maksimal,” ujarnya.
Warga: ‘Ini Ikon atau Beban?’
Bagi masyarakat, monumen ini tidak lebih dari beban visual dan finansial. “Kita tidak butuh monumen setengah jadi. Lebih baik uangnya dipakai untuk hal lain yang lebih mendesak, seperti pendidikan atau kesehatan,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Tuntutan Transparansi
Kini, masyarakat meminta transparansi penuh atas anggaran yang telah dikeluarkan untuk Monumen Mataram Metro. Mereka juga mendesak Pemkot untuk berhenti mengalokasikan anggaran tambahan sampai ada kejelasan dan rencana matang untuk menyelesaikan proyek ini.
Apakah Akan Ada Akhirnya?
Monumen ini telah menjadi sorotan, bukan karena keindahannya, melainkan karena pemborosan anggaran yang luar biasa. Dengan alokasi Rp 950 juta pada 2024 untuk kolam dan air mancur, pertanyaannya tetap sama: “Apakah ini akan menjadi tahun terakhir uang rakyat disedot untuk monumen yang tak kunjung jadi?”
Jika tidak ada perubahan signifikan, Monumen Mataram Metro mungkin akan tetap berdiri sebagai simbol pemborosan anggaran terbesar di Kota Mataram. Dan bagi masyarakat, itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. “Kita butuh pemimpin yang punya visi, bukan yang terus menggali lubang anggaran,” tutup Rachman dengan nada tegas.