banner 728x250
Berita  

Perang Topat, Ketika Ketupat Melayang, Damai Kian Terjalin!

banner 120x600
banner 468x60

Lombok Barat kembali menggelar salah satu tradisi paling epik di Nusantara: Perang Topat! Hujan deras yang mengguyur area Pura Lingsar sore kemarin (15/12) tak mampu memadamkan semangat ribuan pengunjung yang berdesakan ingin menyaksikan tradisi ini. Dari wisatawan lokal hingga mancanegara, semua berbaur dalam kemeriahan budaya yang unik dan penuh makna.

Sejak pukul 17.00 WITA, “perang” dimulai. Di satu sisi, umat Hindu berdiri kokoh di atas tembok, sementara umat Islam mengambil posisi di bawah. Senjata andalan? Bukan batu, bukan panah, melainkan ratusan ketupat mungil atau topat yang dilemparkan dengan tawa riang. Seorang pemuda bernama Muhammad Ramdani, siswa SMAN 1 Lingsar, tertawa puas saat lemparannya mengenai wajah salah satu peserta di atas tembok. Bukannya marah, lawannya malah membalas dengan ketupat lain sambil tertawa. “Di sini, dendam dilarang! Kita bawa senang aja,” kata Ramdani.

banner 325x300

Tradisi ini bukan sekadar perang lempar ketupat. Ini adalah simbol persatuan dan toleransi. “Kalau ada yang lempar batu, pasti saya tangkap!” ujar seorang petugas polisi melalui pengeras suara, yang disambut gelak tawa peserta.

Saat perang selesai pukul 17.30, ribuan ketupat berhamburan di tanah. Para pengunjung, mulai dari ibu-ibu hingga anak-anak, berlomba memungut sisa ketupat. Topat itu dipercaya membawa keberkahan jika ditaburkan di sawah atau ladang. “Ini sudah tradisi turun-temurun. Kami percaya hasil panen nanti akan melimpah,” ungkap Sumiati, warga setempat.

10 Ribu Topat dan Semangat Toleransi

Menurut Kepala Desa Lingsar, Sahyan, sekitar 10 ribu ketupat disiapkan oleh warga dari 10 dusun di Desa Lingsar. Proses memasaknya dilakukan dua hari sebelum acara. “Sebagian pakai dana kas dusun, tapi banyak juga yang pakai dana pribadi. Tradisi ini adalah kebanggaan kami,” ujarnya. Perang Topat, kata Sahyan, adalah wujud rasa syukur warga atas datangnya musim hujan. Dengan ini, mereka berharap tanaman di ladang tumbuh subur.

Tak hanya warga lokal, para pejabat pun turut hadir. Penjabat Gubernur NTB, Hassanudin, memuji tradisi ini sebagai “perang tanpa korban” yang justru menghasilkan keharmonisan. “Ini simbol nyata dari Bhineka Tunggal Ika,” ujarnya. Sementara itu, Pj Bupati Lobar, Ilham, menegaskan bahwa Perang Topat adalah warisan budaya luhur yang mengajarkan nilai toleransi dan persatuan.

Dari Tradisi Lokal ke Panggung Internasional

Perang Topat kini bukan hanya milik masyarakat Lombok, tetapi telah menjadi bagian dari Kharisma Event Nusantara (KEN) sejak 2023. Direktur Event Daerah Kementerian Pariwisata, Reza Fahlevi, bahkan menyerahkan piagam penghargaan atas tradisi ini. “Perang Topat adalah daya tarik wisata yang kuat, baik untuk wisatawan lokal maupun asing,” kata Reza.

Para wisatawan asing yang hadir tampak terpesona. Sebagian bahkan mencoba ikut melempar ketupat. “It’s amazing! I’ve never seen something like this before,” ujar Mike, turis asal Australia yang sengaja datang ke Lombok untuk menyaksikan Perang Topat.

Ritual Suci di Balik Perang

Menurut budayawan Lombok, Mamiq Sahnan, Perang Topat memiliki makna spiritual yang mendalam. Tradisi ini dilakukan pada bulan Purnama Sasih ke Pituq menurut kalender Sasak, sebagai penghormatan kepada Raden atau Datu Sumilir, penyebar Islam di Lombok. “Tradisi ini adalah bukti harmoni antara umat Hindu dan Islam yang sudah terjalin ratusan tahun,” jelasnya.

Perang Topat dimulai selepas salat Asar dan selesai bersamaan dengan persembahyangan umat Hindu di Pura Lingsar. Momen ini disebut “raraq kembang waru”, atau saat bunga waru berguguran, menandai berakhirnya hari.

Keseruan Tanpa Akhir

Perang Topat berakhir dengan tawa, pelukan, dan doa bersama. Tradisi ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga pelajaran hidup tentang kebersamaan di tengah perbedaan. Dari anak kecil hingga orang tua, dari wisatawan lokal hingga mancanegara, semua pulang membawa cerita yang akan dikenang.

Lombok, dengan segala kekayaannya, sekali lagi menunjukkan bahwa di tengah perbedaan, harmoni bisa dirayakan. Perang Topat bukan sekadar tradisi; ini adalah perayaan damai yang melampaui batas agama, budaya, dan bangsa.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *