Kabar dari Hangzhou Olympic Sports Centre Gymnasium mengguncang tanah air. Tim bulutangkis Indonesia, sang raksasa Asia, harus menelan pil pahit di ajang BWF World Tour Finals 2024. Tak ada satupun wakil Merah Putih yang berhasil melaju ke partai puncak, apalagi membawa pulang gelar juara. Bukan hanya menyakitkan, ini adalah tamparan keras bagi bulutangkis tanah air yang selama ini selalu jadi kebanggaan.
Dari enam wakil yang berlaga, hanya tiga pasangan yang mampu menembus semifinal: Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, Sabar Karyaman Gutama/Moh Reza Pahlevi Isfahani, dan Jonatan Christie. Namun sayang, mereka kompak kandas di babak empat besar.
Keok di Semifinal: Drama Penuh Air Mata
Fajar/Rian, yang digadang-gadang jadi harapan utama di sektor ganda putra, harus menyerah dari pasangan Malaysia, Goh Sze Fei/Nur Izzuddin, lewat duel dramatis rubber game. Skor tipis 21-17, 16-21, 25-27 menggambarkan betapa ketatnya pertandingan tersebut.
Tak kalah menyedihkan, pasangan non-Pelatnas, Sabar/Reza, takluk dua gim langsung di tangan Kim Astrup/Anders Skaarup Rasmussen dari Denmark. Skor 21-23, 13-21 menunjukkan bagaimana pengalaman berbicara lebih banyak di laga ini.
Di sektor tunggal putra, Jonatan Christie, sang “Jojo”, kalah dari Anders Antonsen. Meski sempat bangkit di gim kedua, Jojo akhirnya menyerah dengan skor 6-21, 21-15, 13-21.
Pemain Lain Hanya Jadi Penonton
Tiga wakil lainnya—Anthony Sinisuka Ginting, Gregoria Mariska Tunjung, dan pasangan Dejan Ferdinansyah/Gloria Emanuelle Widjaja—bahkan hanya bertahan di fase grup. Apa yang salah?
“Fisik dan Mental Harus Diperbaiki!”
Mulyo Handoyo, koordinator pelatih Pelatnas PBSI, tak menutupi kekecewaannya. Ia mengakui para pemain sudah tampil maksimal. “Tetapi ke depannya, kita harus perbaiki kondisi fisik dan mental. Ini dua aspek yang sering jadi kelemahan saat menghadapi pemain top dunia,” katanya dengan nada getir.
Lima Tahun Tanpa Gelar: Kutukan atau Kesalahan Manajemen?
Kegagalan di Hangzhou ini memperpanjang puasa gelar Indonesia di BWF World Tour Finals. Terakhir kali Indonesia berjaya adalah tahun 2019, saat duet senior Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan alias The Daddies membawa pulang mahkota.
Kini, lima tahun telah berlalu, dan gelar itu semakin terasa seperti kenangan manis yang sulit terulang. Apa sebenarnya yang salah? Apakah regenerasi yang belum siap? Atau mungkin strategi Pelatnas yang kurang tepat?
Netizen Berang: “Jangan Cuma Jadi Pelengkap!”
Di media sosial, kritik deras mengalir. Netizen menuntut perubahan nyata. “Ini bukan soal kalah menang, tapi soal mental bertanding yang selalu runtuh di momen krusial. Jangan cuma jadi pelengkap di turnamen besar!” tulis seorang pengguna Twitter dengan tagar #BangkitBulutangkis.
Solusi atau Hanya Janji?
Kegagalan ini bukan hanya tamparan bagi PBSI, tetapi juga bagi seluruh pecinta bulutangkis di Indonesia. Jika tidak segera ada pembenahan serius, bukan tidak mungkin puasa gelar ini akan terus berlanjut.
Kini, bola panas ada di tangan PBSI. Apakah kita akan melihat perubahan nyata di 2025, ataukah drama kekecewaan ini akan terus berulang? Semua mata tertuju pada Pelatnas Cipayung. Waktunya berhenti mengeluh dan mulai bertindak!