Pemerintah Kota Mataram mengambil langkah besar yang siap mengubah wajah dunia kepegawaian di ibu kota NTB ini. Seiring dengan amanat Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, pengangkatan tenaga honorer atau tenaga penunjang kegiatan (TPK) telah resmi dihentikan sejak November 2023. Namun, kenyataan di lapangan ternyata tidak sesederhana itu.
“Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menyesuaikan. Tidak ada lagi pengangkatan TPK, tetapi pengakuan tenaga non-ASN tetap ada dalam kerangka tertentu,” ujar Kepala BKPSDM Kota Mataram, Taufik Priyono, Rabu (18/12).
Peluang yang Masih Terbuka di Tengah Keterbatasan
Meski pengangkatan TPK baru dilarang, beberapa instansi seperti Dinas PUPR, BPBD, DLH, dan Disperkim Kota Mataram masih mempekerjakan tenaga honorer lapangan untuk kebutuhan mendesak. Namun, model perekrutannya kini lebih ketat dan terbatas pada posisi yang memang sangat dibutuhkan. Jika ada tenaga yang meninggal dunia atau mengundurkan diri, penggantian segera dilakukan, tanpa membuka lowongan baru.
“Jumlah TPK kita ada 3.006 orang, dan sebagian besar masih berjuang mendapatkan formasi PPPK yang tersedia,” kata Taufik. Namun, dari total tersebut, hanya 583 formasi yang disiapkan pemerintah pusat untuk Kota Mataram tahun 2024, mencakup guru, tenaga kesehatan, dan teknis.
Siasat Penggajian: Dari Belanja Pegawai ke Belanja Barang dan Jasa
Untuk menyiasati pembayaran gaji TPK yang masih aktif, pemerintah daerah melakukan manuver anggaran. Tidak lagi dicatat sebagai belanja pegawai, gaji mereka kini dialokasikan melalui belanja barang dan jasa di APBD. Langkah ini diambil untuk menjaga proporsi belanja daerah sesuai regulasi.
Namun, apakah ini solusi jangka panjang? Dengan deadline penataan tenaga honorer pada Desember 2024, nasib ribuan tenaga non-ASN ini bergantung pada keberhasilan mereka dalam seleksi PPPK yang terbatas.
Persaingan Ketat, Siapa yang Bertahan?
Proses rekrutmen PPPK di Kota Mataram tak ubahnya seleksi alam. Dari 3.006 tenaga TPK yang ada, hanya 583 formasi yang tersedia. Bagaimana dengan sisanya? Apakah mereka akan menganggur? Ataukah ada skema lain yang disiapkan?
“Kita prioritaskan tenaga honorer yang kompeten, khususnya eks K2 yang jumlahnya mencapai 340 orang,” tambah Taufik. Namun, dengan persaingan yang semakin ketat, ada kekhawatiran bahwa mereka yang tidak lolos akan kehilangan mata pencaharian.
Kisah Para Pejuang Honorer
Bagi Ribka, seorang tenaga honorer DLH yang telah bekerja selama 10 tahun, kebijakan ini seperti mimpi buruk. “Saya sudah mengabdi begitu lama, tetapi sekarang semuanya terasa tidak pasti. Kalau tidak lolos PPPK, saya tidak tahu harus bagaimana,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Di sisi lain, Joko, seorang tenaga teknis di Dinas PUPR, merasa optimis. “Ini kesempatan untuk memperbaiki sistem. Kalau memang saya tidak lolos, berarti memang sudah bukan rezeki saya,” katanya santai.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?
Penghentian pengangkatan TPK memang sejalan dengan upaya pemerintah menata tenaga kerja non-ASN. Namun, bagaimana dengan dampak sosial dan ekonomi bagi ribuan tenaga honorer yang selama ini menjadi tulang punggung instansi pemerintah? Apakah ada solusi yang lebih manusiawi?
“Kami harap pemerintah pusat dapat memberikan tambahan formasi PPPK atau membuka peluang lain untuk mereka yang tidak lolos,” harap Taufik.
Polemik yang Belum Usai
Kebijakan ini memang membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan untuk sistem kepegawaian yang lebih baik, tetapi juga kekhawatiran akan nasib ribuan tenaga honorer yang kini berada di persimpangan.
“Kalau memang ada keadilan, semua honorer yang sudah bekerja lama seharusnya diangkat menjadi PPPK tanpa seleksi,” tuntut seorang demonstran di depan kantor BKPSDM.
Dengan segala dinamika ini, nasib 3.006 tenaga honorer Kota Mataram kini menjadi perhatian semua pihak. Apakah mereka akan bertahan, ataukah harus mencari jalan baru di luar pemerintahan? Hanya waktu yang bisa menjawab.