Keluhan demi keluhan soal jalan provinsi yang rusak parah di berbagai kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB) terus membanjiri Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB. Namun, alih-alih solusi konkret, warga justru dihadapkan pada anggaran minim dan janji yang belum pasti.
“Aduh, saya sudah lupa ini, banyak (jalan rusak),” ungkap Plt Kepala Dinas PUPR NTB, Lies Nurkomalasari, Jumat (20/12), sembari menjelaskan bahwa anggaran pemeliharaan jalan dalam dua tahun terakhir mengalami penurunan drastis. Alasannya? Dampak pandemi COVID-19 dan gempa yang mengalihkan prioritas anggaran.
Jalan Rusak, Solusi Tambal Sulam
Salah satu ruas jalan yang menjadi sorotan adalah Pengantap, Sekotong, Lombok Barat, yang menghubungkan wilayah itu dengan Lombok Tengah. Dengan panjang sekitar 1,5 kilometer, kondisi jalan ini lebih mirip trek off-road ketimbang jalan provinsi. “Belum, itu masih kita ajukan,” kata Lies dengan nada pasrah.
Untuk jalan berlubang ringan, rencana tambal sulam menjadi opsi utama tahun ini. Tetapi, untuk perbaikan besar, pemerintah harus menggantungkan harapan pada Dana Alokasi Khusus (DAK). Sayangnya, perbaikan di Kebon Ayu, Gerung, Lombok Barat, baru dijadwalkan untuk 2025 dengan estimasi anggaran Rp 18 miliar. Sementara warga harus bertahan dengan jalan berlubang dan debu yang mengepul setiap hari.
Warga Marah, Fiskal Terbatas Jadi Alasan Klasik
Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Lalu Gita Ariadi, mengakui bahwa keterbatasan ruang fiskal menjadi tantangan besar. Namun, ia menegaskan bahwa hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk menunda pembangunan infrastruktur yang sangat dibutuhkan masyarakat. “Ruang fiskal kita terbatas, tapi kebutuhan masyarakat itu prioritas,” ujarnya.
Gita berharap, di bawah kepemimpinan baru, Gubernur NTB bisa menjalin komunikasi lebih intensif dengan wakil rakyat di pusat. Salah satu solusi yang ia ajukan adalah mengusulkan sejumlah ruas jalan provinsi agar naik status menjadi jalan nasional.
Mimpi Besar di Tengah Realita Pahit
Meski demikian, janji-janji ini tetap saja terasa jauh bagi masyarakat yang setiap hari harus bergulat dengan jalan rusak. Sementara pemerintah sibuk menyusun strategi dan anggaran, warga di Sekotong dan wilayah lainnya hanya bisa mengeluh.
“Kalau hujan, jalan ini licin kayak sabun. Kalau kemarau, debunya bikin sesak napas. Kami ini warga NTB, kok diperlakukan kayak begini,” keluh warga setempat yang enggan disebutkan namanya.
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Pertanyaan besar yang muncul adalah: siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi ini? Apakah benar anggaran menjadi satu-satunya masalah, atau ini soal manajemen yang tidak efektif?
Plt Kepala Dinas PUPR NTB memang mengaku bahwa banyak jalan rusak masih dalam tahap pengajuan perbaikan. Namun, transparansi soal data jalan rusak yang diusulkan ke pusat juga menjadi tanda tanya. “Saya tidak bisa sebutkan datanya,” ucap Lies, membuat publik bertanya-tanya: benarkah ada solusi yang disiapkan?
Warganet Geram: “Kapan NTB Bisa Bangga?”
Di media sosial, kekecewaan publik memuncak. Tagar seperti #JalanRusakNTB dan #NTBBukanJanji sempat ramai, menggambarkan kemarahan warga atas lambannya tindakan pemerintah.
“Pemerintah minta sabar terus, tapi kapan sabar ini ada hasilnya? Jangan cuma bikin kita jadi orang paling sabar sedunia!” tulis akun @LombokBerduka.
Catatan Akhir: NTB Harus Bangkit
Kondisi jalan di NTB bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal martabat warga yang merasa diabaikan. Pemerintah harus segera beralih dari wacana menjadi aksi nyata. Warga tidak butuh janji, tapi jalan yang layak untuk dilalui.
Apakah 2025 menjadi tahun perubahan? Ataukah, kita hanya akan terus mendengar keluhan yang sama, hanya dengan tokoh berbeda? Satu hal yang pasti: NTB butuh jalan, bukan janji.