Musim hujan bukan hanya membawa kesejukan, tetapi juga “tsunami sampah” yang membanjiri Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ijobalit. Dalam dua minggu terakhir, volume sampah yang masuk ke TPA melonjak tajam menjadi 120-130 ton per hari, meningkat drastis dibandingkan musim kemarau yang hanya sekitar 89-90 ton per hari. Jika kondisi ini terus dibiarkan, TPA yang seharusnya mampu bertahan hingga 7 tahun ke depan, diprediksi hanya akan berumur maksimal 5 tahun!
Kepala TPA Ijobalit, Suhardan, menyebut lonjakan ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari sampah yang terhanyut ke selokan, pinggir jalan, pantai, hingga sungai-sungai. Aktivitas seperti pembersihan selokan dan pengangkutan sampah pantai hanya memperburuk situasi. “Kami kewalahan. Sampah yang masuk ke sini mayoritas tidak dipilah, langsung dibuang begitu saja,” ujarnya dengan nada prihatin.
Namun, bukan hanya volume yang menjadi masalah. Jenis sampah yang masuk pun turut memusingkan. Sampah basah, dedaunan, plastik, hingga material lain yang seharusnya dapat didaur ulang ikut menggunung tanpa penyortiran. Suhardan menambahkan, “Seharusnya yang masuk ke TPA hanya residu atau sisa yang benar-benar tidak bisa didaur ulang. Tapi kenyataannya, hampir semua sampah dari 21 kecamatan di Lombok Timur berakhir di sini.”
Pantai Jadi “Matahari Sampah”
Tak hanya TPA, pantai-pantai di Lombok Timur juga menghadapi situasi serupa. Pengelola Pantai Sunrise Land Lombok (SLL), Qori’ Bayyinaturrosi, mengungkapkan volume sampah di kawasan pantai mereka meningkat dua kali lipat selama musim hujan. “Jika biasanya kami hanya membersihkan 1-2 ton sampah per hari, sekarang volumenya mencapai 50 ton!” jelasnya. Sampah ini didominasi oleh material yang terbawa arus sungai dan bermuara ke laut, kemudian kembali ke daratan bersama ombak.
Meski demikian, Qori’ memastikan sampah dari pantai tidak dibuang ke TPA Ijobalit. Pengelola Pantai SLL telah menyediakan tempat pembuangan sementara (TPS) khusus. “Kami melibatkan masyarakat sekitar untuk membersihkan pantai, sekaligus memberikan upah sebagai bentuk apresiasi,” tambahnya. Namun, ia mengingatkan, solusi jangka panjang tetap bergantung pada edukasi dan kesadaran masyarakat.
Wajah Baru untuk Sampah Lama
Melihat kondisi ini, pertanyaan besar pun mencuat: Apakah Lombok Timur siap menghadapi krisis sampah yang lebih besar di masa depan? Dengan populasi yang terus bertambah dan perilaku masyarakat yang masih minim kesadaran dalam memilah sampah, ancaman kehabisan lahan pembuangan semakin nyata.
Suhardan sendiri mengaku tidak bisa bekerja sendirian. Ia menyerukan peran aktif desa-desa di Lombok Timur untuk mulai memilah sampah dari sumbernya. Selain itu, edukasi yang masif kepada masyarakat dinilai menjadi kunci penting. “Ini bukan hanya masalah pemerintah. Ini tanggung jawab kita bersama!” tegasnya.
Solusi atau Janji Manis
Beberapa inisiatif telah muncul, mulai dari rencana pengelolaan sampah berbasis desa hingga pengembangan teknologi daur ulang. Namun, seperti biasa, banyak yang skeptis dengan implementasinya. Apakah ini akan menjadi solusi konkret atau sekadar janji manis di atas kertas?
Satu hal yang pasti, waktu terus berjalan, dan gunungan sampah di TPA Ijobalit terus bertambah. Jika tidak ada tindakan nyata, Lombok Timur tidak hanya akan kehilangan TPA, tetapi juga kehilangan wajah cantiknya sebagai destinasi wisata.
Musim hujan memang membawa berkah. Namun, jika tumpukan sampah terus menjadi pemandangan harian, kita semua tahu siapa yang akan menanggung akibatnya. Jangan sampai Lombok Timur dikenal bukan karena keindahannya, tetapi karena “gunung sampah yang meledak”