Lombok Tengah (Loteng) sedang menghadapi dilema kesehatan yang bikin pusing tujuh keliling. Pelayanan kesehatan di daerah ini masih jauh dari kata “merata.” Kepala Dinas Kesehatan Loteng, dr. Suardi, bahkan blak-blakan mengatakan Loteng butuh tiga rumah sakit tipe D dan enam puskesmas tambahan untuk memenuhi kebutuhan warganya. Tanpa fasilitas ini, banyak warga yang terpaksa “hijrah” ke Lombok Timur (Lotim) demi pengobatan yang layak.
“RSUD Praya Sudah Meledak!”
Bayangkan, RSUD Praya, yang baru saja naik kelas jadi tipe B, sudah nggak kuat menampung pasien. “Overload,” kata dr. Suardi sambil menegaskan bahwa perluasan rumah sakit ini butuh waktu dan uang banyak. Sementara itu, pembangunan rumah sakit tipe D yang dibutuhkan untuk mengurai masalah ini baru akan dimulai pada tahun 2026. Sabar ya, masyarakat Loteng!
Kapan Rumah Sakit Tipe D Jadi Nyata?
Untuk saat ini, Loteng belum punya satu pun rumah sakit tipe D. Bahkan rencana peningkatan Puskesmas Kopang jadi tipe D baru sebatas mimpi yang dijanjikan terealisasi tiga tahun lagi. Dengan anggaran Rp 50 miliar dari APBD, fasilitas ini akan dilengkapi 50 tempat tidur dan dokter spesialis. Tapi, hey, tiga tahun itu lama, apalagi kalau kamu sedang butuh penanganan darurat hari ini.
“Lotim Sudah Punya Empat, Kita Nol Besar!”
Dibandingkan Lombok Timur, Loteng terlihat seperti anak tiri. “Lotim sudah punya empat rumah sakit tipe D, kita satu pun belum ada,” ujar Suardi. Sedih nggak sih? Tambahan enam puskesmas juga masih terkendala pembangunan prototype, dan itu juga bukan urusan gampang.
Perluasan Lahan RSUD Praya? Tunggu 2026 atau Lebih Lama Lagi
Kepala Bapperida Loteng, Lalu Wiranata, mengungkapkan rencana perluasan RSUD Praya masih dalam tahap diskusi tanpa kejelasan sumber dana. Sementara APBD Loteng 2025 fokus pada pembangunan gedung lantai tiga RSUD Praya, urusan lahan tambahan masih jauh dari kenyataan. Alternatif pembiayaan lewat utang pun jadi opsi terakhir, dengan catatan: kalau RSUD Praya “berani.”
Warga Loteng: Sabar Itu Memang Pahala, Tapiā¦
Dengan kondisi ini, warga Loteng seolah diminta bersabar sambil bertahan dengan pelayanan kesehatan yang seadanya. Namun, sabar saja nggak cukup ketika nyawa jadi taruhan. Kalau terus begini, jangan kaget kalau makin banyak warga Loteng yang memilih berobat ke luar daerah.
Di era yang serba cepat ini, apakah Loteng harus terus tertinggal dalam urusan pelayanan kesehatan? Atau ini saatnya bagi pemda untuk berpikir out of the box dan memprioritaskan pembangunan fasilitas kesehatan yang lebih layak? Waktu akan menjawab, tapi semoga tidak terlambat